Monday, September 18, 2017

Tentang kedua kekasih dari setangkai bunga terakhir

SELAMAT JALAN KEKASIH, belajar menghargai ketulusan cinta, itulah yang membawa semangatku, untuk bangkit kembali meski selalu tertatih, bangkit dan terus bangkit lagi, Tuhan pasti punya cara sendiri untuk menuntunku kepada cinta yang sesungguhnya, aku percaya itu.

Hari begitu cerah, angin berhembus lembut membawa kesejukan hati, bayang pepohonan rimbun menghampiri ketenangan jiwa. Tapi tidak untuk hati dan jiwaku, 28 Agustus  dibawah sebuah pohon mangga, di taman masjid, aku terduduk diam tanpa kata, menatap jauh ke depan, ku hirup udara sejuk angin sore waktu itu, berharap akan menemukan ketenangannya, namun yang kurasa hanya sakit yang teramat sangat, setelah lama mengurung hatiku pada cinta yang terbagi, akhirnya baru kusadari betapa dalamnya cinta itu telah melukai hati ku. 28 Agustus, akhir dari kisah ku dengannya, sedang awal tahun pertama dari kisahnya dengan yang lain tersenyum, ku coba mengukir sebuah senyuman dibibir, seolah aku adalah orang yang paling tegar, kuat, dan aku adalah orang yang tak akan jatuh begitu saja. Tapi tidak, aku akui saat itu aku benar-benar terluka, aku terpuruk dan Aku telah hancur. Tahan, ku tahan air mata ini, aku tak ingin terlihat lemah lagi, aku bukan orang seperti ini. Tapi saat itu entahlah! Ku biarkan saja air mata ini jatuh dan terjatuh, biarlah nantinya jadi penyesalan tak terlupakan. Meski saat itu aku terluka, aku sakit, bahkan rasanya ingin mati, aku tak ingin menyesali keputusanku.

Tidak, tidak akan kusesali! Entah mana yang lebih sakit, melihat ia perlahan menuju cintanya, atau bertahan tanpa status apa-apa. Ya, aku mengikhlaskannya bersama orang lain. Hidup bahagia bersama kekasihnya.

Aku masih ingat ketika pertemuan itu, ia meminta dukunganku untuk merelakannya bersama pasangan barunya. Tentu saja aku mengizinkan, betapa bodohnya jika aku tetap menahannya disini sementara hatinya untuk orang lain. Katanya, perasaan pada ku masih tetap sama, sama seperti sebelum ia datang. Setelah itu, aku tak ingat lagi apa perkataannya. Aku terlalu sibuk mendengarkan isakan tangis di dalam hati. Hatiku menangis meraung-raung saat dia menyebut dirinya. “Aku menyayangimu”. Katanya saat itu, aku pun demikian halnya, tapi tidak pernah ada satu orang mencintai dua orang sekaligus. Hati pun tidak bisa diisi oleh dua orang yang sangat ingin menempati. “kamu juga sayang dia kan?”, aku membalasnya dengan pertanyaan yang membuatnya berhenti bicara. Selama beberapa menit, dia terdiam. Matanya menatap nanar jalan yang mulai padat merayap sore. Tak lama kemudian, untuk yang kesekian kalinya, kata-kata itu kembali muncul. ’’maafkan aku’’. Aku membalasnya dengan sebuah senyuman. Jujur, aku tak tahu harus berkataa apa. Aku sangat ingin bersamanya, lebih lama lagi, menjadi satu-satunya sandaran ketika ia lelah. Menjadi seseorang yang kabarnya selalu ia tunggu-tunggu, ya! Aku masih ingin seperti itu. Aku masih ingat betul, dia pernah memintaku untuk jangan pergi, tetap mendukungnya, menjadi penyemangatnya ketika iya lelah, menjadi laki-laki yang sabar menghadapinya, menjadi laki-laki yang selalu mengerti keadaannya. Sampai pada akhirnya dia pula yang memintaku untuk pergi, pergi dari kisahnya, pergi dari semua peran itu, ketika waktu telah sadar, saat semua orang memintaku untuk mengembalikannya pada kekasih pilihan orang tuanya.

Waktu itu aku melihat raut bimbang di wajahnya. Satu sisi rasa yang ia punya pada kekasih barunya tak pernah ada, tetapi di sisi lain dia tak ingin mengecewakanku. Aku paham betul posisinya. Berada diantara cinta lama dan orang asing yang baru saja membuatnya nyaman. Iya tahu aku mencintainya, sangat mencintainya. Meski semua itu singkat, tetapi ia pun barusaha untuk mengihklaskanku.

28 Agustus, kenapa baru jujur sekarang? Tanyaku menatap matanya dalam-dalam seperti tak mau kebohongan lagi. Aku takut kamu terluka, jawabnya penuh penyesalan. Aku terdiam, menikmati sakit goresannya. Aku tak ingin kau pergi, maafkan aku, tapi bisakah kita tetap seperti ini? Lanjutnya dengan penuh harap. Tidak, tidak lagi, cinta bukan mainan kita. Kita tak mungkin terus seperti ini! Sudah jelas dia sangat menyayangimu, jangan sia-siakan orang yang menyayangimu, lupakan saja aku, aku tak mengapa, aku yakin aku bisa merelakan mu, kataku sekuat tenaga. Aku berlalu pergi, meninggalkannya yang masih terjebak dalam bius kata-kataku.

Tinggalkan aku cinta, pergilah, pergilah kejar kebahagiaanmu bersamanya. Aku berharap ia dapat meredam egomu. Memanjakanmu setiap waktu. Memberikan ucapan penyemangat sebelum memulai hari. Mengerti akan sikapmu yang egois dan tidak suka dipaksa. Aku ingin melepasmu dengan bahagia. Memastikanmu tidak salah dalam memilih. Karena aku telah melepaskanmu untuknya, untuk kembali kepada cinta pilihan orang tuamu. Insya allah, rasa cintaku ini tulus, aku ikhlas menyayangimu, dan aku tidak pernah menganggapmu menyakitiku ketika memilihnya. Karena aku meyakini satu hal, cinta tidak memaksa, tidak dapat dipaksa, dan bukan keterpaksaan.

Aku bagai lilin kecil tanpa cahaya. Berlari-lari dari kenyataan yang begitu kelam ku rasakan kini. Dulu kau bagai madu yang terucap manis sekali di telingaku. Namun kini kau adalah perempuan yang teramat aku benci. Tapi benci tak bisa mengalahkan cinta yang teramat dalam di hati. Jiwa yang bernyawa ini tak pernah enggan untuk melupakanmu. Sedetik pun tak pernah kau lari dari penjara hati ini yang tak pernah bebas tentangmu. Karena kau adalah pacar terbaikku.

Berjalan menyusuri lentera yang dulu pernah terangi gelap ku. Berteduh di bawah ranting berdaun hijau. Disitu aku mencoba menenangkan jiwa yang tak lepas dari kenangan masa laluku dengan mu. Aku ingin menjadi kupu-kupu yang bisa terbang bebas di angkasa, tapi nyatanya aku tak mampu karena aku adalah laki-laki biasa. Lamunanku mengundang kenangan masa lalu.

Aku terdiam sepi, seperti gurun yang merindukan datangnya sang hujan. Seperti daun yang merindukan datangnya butiran embun di pagi hari. Aku terdiam sepi. Ku coba berjalan, namun langkahku tak memiliki arah untuk berpijak. Ada sesuatu yang hampa disini, aku tak tau.

Ku ikuti arah angin berhembus, namun logika ku melarang, apakah kau hanya akan mengikuti angin tanpa punya tujuan? Apakah kau hanya akan menjadi sampah yang terbawa arus sungai yang deras tanpa bisa berbuat apa-apa?. Tapi aku terus berjalan, persetan dengan logika pikirku, aku memang telah menjadi sampah bukan?

Aku kembali terdiam, disini. Di tempat dimana kita biasa duduk bersama. Aku tersadar, tempat ini tak asing bagiku, dulu aku pernah merasakan, pernah memiliki tujuan hidup, disini. Ya, aku dulu pernah bahagia, aku dulu pernah punya sejuta mimpi. Dulu hidupku serasa sempurna, hidupku dulu secerah mentari pagi, bersinar, penuh harapan bahwa hari ini kan berjalan baik. Dulu, ya, itu dulu.
Kini pikiranku mulai menampilkan gambaran keindahan hidupku dulu, semuanya berputar di kepalaku, hingga menampilkan secuat wajah, ya, aku mengenalnya, aku mulai sadar bahwa dialah alasan kebahagiaan di masa laluku, dialah sang mentari pagi, bahkan lebih, ya dia bidadari hatiku.

Air mataku meleleh, aku tak tau, tiba-tiba aku ingin menangis, hatiku bisa merasakan lagi. Dan rasa sakit itu yang membangkitkannya.
Kakiku goyah, aku tak bisa menahannya, aku terjatuh. Airmataku masih mengalir, aku menatap sekeliling pohon itu, bangku di taman, kolam ikan yang airnya jernih. Aku kembali teringat kenangan kita. Dulu kita sering kesini, bermain di dahan pohon tua yang masih kokoh ini, kita berbaring di atas rumput akasia yang hijau dan lembut ini sambil memandangi awan. Aku masih ingat kata-katamu.

“Sayang, kalau kita menikah nanti, kita tak perlu punya rumah yang mewah dan besar, karena walaupun kita tinggal di rumah yang beralaskan tanah dan beratapkan langit pun, asalkan masih bisa melihat senyummu aku sudah bahagia sekali”. Aku pun hanya tersenyum.

Airmataku makin mengalir, senyumu, gelak tawamu, hariku seakan tak pernah bosan jika kuhabiskan hanya untuk melihatnya. Aku ingin lagi merasakan itu, aku ingin menikmati tiap detik waktu yang kumiliki untuk bersamamu. Aku sadar, dulu aku tak pernah membahagiakanmu, aku terlalu cuek dan tak menanggapimu.

Di pohon ini kamu pernah menuliskan namamu dan namaku, disini. Kau menanyakan pendapatku, namun aku hanya bilang kamu berlebihan.

Disini, kamu sering memetik bunga yang tumbuh di sekitar kolam, kemudian kamu selipkan di telingaku, aku jengkel dan selalu membuangnya, kamu pun hanya tertawa renyah sambil mencubit hidungku dan berlari. Tapi hari itu berbeda, kamu menyelipkan lagi bunga itu dan aku pun kembali membuangnya, tapi kamu malah mengambilnya dan memeluknya sambil menangis, aku tak tau kamu kenapa, dan aku pun terlalu cuek untuk menanyakannya, tapi kini aku sadar, bahwa bunga itu adalah bunga terakhir yang kamu selipkan di telingaku.


ttd: 

No comments:

Post a Comment