Tuesday, September 19, 2017

Perjalanan diatas rintangan sang pemuda

Berjalan diatas rintangan yang ada, terkadang tertatih dijalan yang gelap, hanya kepulan asap nuansakan malam memikirkan masa depan, "sungguh"..... serasa melangkah diatas kerikil2 yang tajam, hanya berteman dengan buku untuk tujuan apa yang akan diraih tuk kedepan, hanya ditemani dengan buku sebagai sandaran untuk bisa melewati tantangan tuk masa depan, hanya!! Dgn buku ini, menemani langkah untuk skil dgn nalar yg baik untuk menciptakan konsisten dlm mnjalani waktu tuk masa depan....

("bukuku") & (kitabku "al'qur'an")
   Bismillahhitawaqqaltu'alallah
       Yakin ikhlas istyqhomah

          😶....(Insa'allah)....😶

Monday, September 18, 2017

Beginilah acara sasak lombok nusantara

Kami Juga Manusia

      Aku hanya pemulung, iya, hanya pemulung yang selalu dikatakan sebagai manusia yang selalu bergelut dengan bau dan kotoran.
Pekerjaan yang selalu aku kerjakan adalah memungut sampah-sampah yang dibuang oleh orang-orang yang selalu mengatakan aku sebagai orang yang selalu bergaul dengan bau, namun mereka lupa, pekerjaan seorang pemulung adalah pekerjaan yang mulia.
Coba bayangkan, kalau di Dunia ini tidak ada pemulung, apakah hidupmu akan baik-baik saja?
Tentu tidak bukan? Kini berterimakasihlah atas kehadiran kami, jangan kau merasa risih ketika kau melihat kami mengurik-ngurik sampah depan rumah mu, kami hanya mencari sepiring nasi, kami hanya belum beruntung dalam melakoni kehidupan ini.
Sekarang, anggaplah kami sama, sama-sama manusia yang hidup dengan cara yang berbeda, dan bersyukurlah atas kehadiran kami. Karena dengan kehadiran kami, kau tahu  hidupmu lebih baik dari kami.


Tentang kedua kekasih dari setangkai bunga terakhir

SELAMAT JALAN KEKASIH, belajar menghargai ketulusan cinta, itulah yang membawa semangatku, untuk bangkit kembali meski selalu tertatih, bangkit dan terus bangkit lagi, Tuhan pasti punya cara sendiri untuk menuntunku kepada cinta yang sesungguhnya, aku percaya itu.

Hari begitu cerah, angin berhembus lembut membawa kesejukan hati, bayang pepohonan rimbun menghampiri ketenangan jiwa. Tapi tidak untuk hati dan jiwaku, 28 Agustus  dibawah sebuah pohon mangga, di taman masjid, aku terduduk diam tanpa kata, menatap jauh ke depan, ku hirup udara sejuk angin sore waktu itu, berharap akan menemukan ketenangannya, namun yang kurasa hanya sakit yang teramat sangat, setelah lama mengurung hatiku pada cinta yang terbagi, akhirnya baru kusadari betapa dalamnya cinta itu telah melukai hati ku. 28 Agustus, akhir dari kisah ku dengannya, sedang awal tahun pertama dari kisahnya dengan yang lain tersenyum, ku coba mengukir sebuah senyuman dibibir, seolah aku adalah orang yang paling tegar, kuat, dan aku adalah orang yang tak akan jatuh begitu saja. Tapi tidak, aku akui saat itu aku benar-benar terluka, aku terpuruk dan Aku telah hancur. Tahan, ku tahan air mata ini, aku tak ingin terlihat lemah lagi, aku bukan orang seperti ini. Tapi saat itu entahlah! Ku biarkan saja air mata ini jatuh dan terjatuh, biarlah nantinya jadi penyesalan tak terlupakan. Meski saat itu aku terluka, aku sakit, bahkan rasanya ingin mati, aku tak ingin menyesali keputusanku.

Tidak, tidak akan kusesali! Entah mana yang lebih sakit, melihat ia perlahan menuju cintanya, atau bertahan tanpa status apa-apa. Ya, aku mengikhlaskannya bersama orang lain. Hidup bahagia bersama kekasihnya.

Aku masih ingat ketika pertemuan itu, ia meminta dukunganku untuk merelakannya bersama pasangan barunya. Tentu saja aku mengizinkan, betapa bodohnya jika aku tetap menahannya disini sementara hatinya untuk orang lain. Katanya, perasaan pada ku masih tetap sama, sama seperti sebelum ia datang. Setelah itu, aku tak ingat lagi apa perkataannya. Aku terlalu sibuk mendengarkan isakan tangis di dalam hati. Hatiku menangis meraung-raung saat dia menyebut dirinya. “Aku menyayangimu”. Katanya saat itu, aku pun demikian halnya, tapi tidak pernah ada satu orang mencintai dua orang sekaligus. Hati pun tidak bisa diisi oleh dua orang yang sangat ingin menempati. “kamu juga sayang dia kan?”, aku membalasnya dengan pertanyaan yang membuatnya berhenti bicara. Selama beberapa menit, dia terdiam. Matanya menatap nanar jalan yang mulai padat merayap sore. Tak lama kemudian, untuk yang kesekian kalinya, kata-kata itu kembali muncul. ’’maafkan aku’’. Aku membalasnya dengan sebuah senyuman. Jujur, aku tak tahu harus berkataa apa. Aku sangat ingin bersamanya, lebih lama lagi, menjadi satu-satunya sandaran ketika ia lelah. Menjadi seseorang yang kabarnya selalu ia tunggu-tunggu, ya! Aku masih ingin seperti itu. Aku masih ingat betul, dia pernah memintaku untuk jangan pergi, tetap mendukungnya, menjadi penyemangatnya ketika iya lelah, menjadi laki-laki yang sabar menghadapinya, menjadi laki-laki yang selalu mengerti keadaannya. Sampai pada akhirnya dia pula yang memintaku untuk pergi, pergi dari kisahnya, pergi dari semua peran itu, ketika waktu telah sadar, saat semua orang memintaku untuk mengembalikannya pada kekasih pilihan orang tuanya.

Waktu itu aku melihat raut bimbang di wajahnya. Satu sisi rasa yang ia punya pada kekasih barunya tak pernah ada, tetapi di sisi lain dia tak ingin mengecewakanku. Aku paham betul posisinya. Berada diantara cinta lama dan orang asing yang baru saja membuatnya nyaman. Iya tahu aku mencintainya, sangat mencintainya. Meski semua itu singkat, tetapi ia pun barusaha untuk mengihklaskanku.

28 Agustus, kenapa baru jujur sekarang? Tanyaku menatap matanya dalam-dalam seperti tak mau kebohongan lagi. Aku takut kamu terluka, jawabnya penuh penyesalan. Aku terdiam, menikmati sakit goresannya. Aku tak ingin kau pergi, maafkan aku, tapi bisakah kita tetap seperti ini? Lanjutnya dengan penuh harap. Tidak, tidak lagi, cinta bukan mainan kita. Kita tak mungkin terus seperti ini! Sudah jelas dia sangat menyayangimu, jangan sia-siakan orang yang menyayangimu, lupakan saja aku, aku tak mengapa, aku yakin aku bisa merelakan mu, kataku sekuat tenaga. Aku berlalu pergi, meninggalkannya yang masih terjebak dalam bius kata-kataku.

Tinggalkan aku cinta, pergilah, pergilah kejar kebahagiaanmu bersamanya. Aku berharap ia dapat meredam egomu. Memanjakanmu setiap waktu. Memberikan ucapan penyemangat sebelum memulai hari. Mengerti akan sikapmu yang egois dan tidak suka dipaksa. Aku ingin melepasmu dengan bahagia. Memastikanmu tidak salah dalam memilih. Karena aku telah melepaskanmu untuknya, untuk kembali kepada cinta pilihan orang tuamu. Insya allah, rasa cintaku ini tulus, aku ikhlas menyayangimu, dan aku tidak pernah menganggapmu menyakitiku ketika memilihnya. Karena aku meyakini satu hal, cinta tidak memaksa, tidak dapat dipaksa, dan bukan keterpaksaan.

Aku bagai lilin kecil tanpa cahaya. Berlari-lari dari kenyataan yang begitu kelam ku rasakan kini. Dulu kau bagai madu yang terucap manis sekali di telingaku. Namun kini kau adalah perempuan yang teramat aku benci. Tapi benci tak bisa mengalahkan cinta yang teramat dalam di hati. Jiwa yang bernyawa ini tak pernah enggan untuk melupakanmu. Sedetik pun tak pernah kau lari dari penjara hati ini yang tak pernah bebas tentangmu. Karena kau adalah pacar terbaikku.

Berjalan menyusuri lentera yang dulu pernah terangi gelap ku. Berteduh di bawah ranting berdaun hijau. Disitu aku mencoba menenangkan jiwa yang tak lepas dari kenangan masa laluku dengan mu. Aku ingin menjadi kupu-kupu yang bisa terbang bebas di angkasa, tapi nyatanya aku tak mampu karena aku adalah laki-laki biasa. Lamunanku mengundang kenangan masa lalu.

Aku terdiam sepi, seperti gurun yang merindukan datangnya sang hujan. Seperti daun yang merindukan datangnya butiran embun di pagi hari. Aku terdiam sepi. Ku coba berjalan, namun langkahku tak memiliki arah untuk berpijak. Ada sesuatu yang hampa disini, aku tak tau.

Ku ikuti arah angin berhembus, namun logika ku melarang, apakah kau hanya akan mengikuti angin tanpa punya tujuan? Apakah kau hanya akan menjadi sampah yang terbawa arus sungai yang deras tanpa bisa berbuat apa-apa?. Tapi aku terus berjalan, persetan dengan logika pikirku, aku memang telah menjadi sampah bukan?

Aku kembali terdiam, disini. Di tempat dimana kita biasa duduk bersama. Aku tersadar, tempat ini tak asing bagiku, dulu aku pernah merasakan, pernah memiliki tujuan hidup, disini. Ya, aku dulu pernah bahagia, aku dulu pernah punya sejuta mimpi. Dulu hidupku serasa sempurna, hidupku dulu secerah mentari pagi, bersinar, penuh harapan bahwa hari ini kan berjalan baik. Dulu, ya, itu dulu.
Kini pikiranku mulai menampilkan gambaran keindahan hidupku dulu, semuanya berputar di kepalaku, hingga menampilkan secuat wajah, ya, aku mengenalnya, aku mulai sadar bahwa dialah alasan kebahagiaan di masa laluku, dialah sang mentari pagi, bahkan lebih, ya dia bidadari hatiku.

Air mataku meleleh, aku tak tau, tiba-tiba aku ingin menangis, hatiku bisa merasakan lagi. Dan rasa sakit itu yang membangkitkannya.
Kakiku goyah, aku tak bisa menahannya, aku terjatuh. Airmataku masih mengalir, aku menatap sekeliling pohon itu, bangku di taman, kolam ikan yang airnya jernih. Aku kembali teringat kenangan kita. Dulu kita sering kesini, bermain di dahan pohon tua yang masih kokoh ini, kita berbaring di atas rumput akasia yang hijau dan lembut ini sambil memandangi awan. Aku masih ingat kata-katamu.

“Sayang, kalau kita menikah nanti, kita tak perlu punya rumah yang mewah dan besar, karena walaupun kita tinggal di rumah yang beralaskan tanah dan beratapkan langit pun, asalkan masih bisa melihat senyummu aku sudah bahagia sekali”. Aku pun hanya tersenyum.

Airmataku makin mengalir, senyumu, gelak tawamu, hariku seakan tak pernah bosan jika kuhabiskan hanya untuk melihatnya. Aku ingin lagi merasakan itu, aku ingin menikmati tiap detik waktu yang kumiliki untuk bersamamu. Aku sadar, dulu aku tak pernah membahagiakanmu, aku terlalu cuek dan tak menanggapimu.

Di pohon ini kamu pernah menuliskan namamu dan namaku, disini. Kau menanyakan pendapatku, namun aku hanya bilang kamu berlebihan.

Disini, kamu sering memetik bunga yang tumbuh di sekitar kolam, kemudian kamu selipkan di telingaku, aku jengkel dan selalu membuangnya, kamu pun hanya tertawa renyah sambil mencubit hidungku dan berlari. Tapi hari itu berbeda, kamu menyelipkan lagi bunga itu dan aku pun kembali membuangnya, tapi kamu malah mengambilnya dan memeluknya sambil menangis, aku tak tau kamu kenapa, dan aku pun terlalu cuek untuk menanyakannya, tapi kini aku sadar, bahwa bunga itu adalah bunga terakhir yang kamu selipkan di telingaku.


ttd: 

Sunday, September 17, 2017

KARIA ANAK DESA DALAM CERITA PEMIKIRANNYA

    Pagi menjelang siang, Ben berjalan kesebuah kampus yang membuatnya tak berhenti membuatnya kagum dengan gedung-gedung dan melihat banyak mahasiswa lagi duduk membuat bundaran yang belum dia paham orang-orang itu sedang melakukan kegiatan apa di bawah pohon di taman kampus, namun dengan bejalannya waktu, akhirnya dia paham, ternyata bundaran-bundaran yang di buat oleh mahasiswa itu yang jumlahnya cukup banyak disebut diskusi.

Ben mendaftar di fakultas Hukum, alasannya cukup jelas supaya dia bisa membuat kebijakan-kebijakan yang selama ini menurutnya hanya menguntungkan sebelah pihak, dari sanalah timbul keinginannya mendaftar di fakultas Hukum.

Keinginannya masuk difakultas Hukum tidak terlalu sulit, keinginannya pun masuk disebuah fakultas Hukum yang diinginkannya pun tercapai.Beberapa hari setelahnya, Ben pun sudah terdaftar menjadi mahasiswa disalah satu Universitas ternama di Jakarta.

Hatinya pun dak dik duk tak karuan, setelah di terima disalah satu perguruan tinggi di salah satu Universitas yang ada di Jakarta dia masih akan menjalani beberapa hal sebagai mahasiwa baru yaitu ospek. Ben pun tidak terlalu kualahan dalam menjalani ospek tersebut, dikarenakan ada teman lamanya yang ikut menjadi seniornya, yang tidak jarang beberapa kali diselamatkan ketika dia akan mendapat hukuman seperti beberapa temannya.

Hari terus berganti, Ben menjalani rutinitasnya sebagai mahasiswa pada umumnya, dia pun ikut aktif dalam berbagai diskusi yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa yang tergabung dalam sebuah Organisasi, dan menuntunnya untuk ikut serta bergambung dalam organisasi tersebut.Banyak pengalaman yang dia dapatkan, dari berbagai macam diskusi yang diadakan di kampus maupun diluar kampus, dan tak jarang dia pun sering ikut aksi atau turun kejalan menyuarakan aspirasi atau menolak beberapa kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat.

Namanya pun cukup terkenal di lingkungan mahasiswa dan aktivis, yang tidak jarang dia diundang menjadi pembicara di berbagai diskusi yang diadakan oleh para mahasiswa, baik internal maupun eksternal. Dia termasuk mahasiswa yang cukup disegani beberapa temannya, bukan karena dia kuat atau hal lainnya, melainkan karena keintelektualnya yang cukup berwawasan.

Tak disangka-sangka wanita yang dikiranya pendiam itu tiba-tiba angkat bicara, dan itu menambah decak kagum kepada sang pemilik karya. Cantik dan cerdas, siapa yang tidak mau dengan wanita yang seperti itu, hanya laki-laki yang tidak ingin merubah keturunan serta laki-laki yang tidak suka akan keindahan itu yang tidak akan tergoda olehnya, namun tidak dengan Ben, pikiranya dibuat teracak atas kehadirannya. Pada akhirnya dia tersadar, Ben, kamu ini hanya lelaki desa yang tidak lain hanya datang menuntut ilmu disini, masa depan kamu saja belum jelas, jangan bermimpi bisa mendapatkan cinta seorang gadis bermata biru itu, laki-laki yang mapan dan yang jelas masa depannya saja belum tentu bisa mendapatkan cintanya, apa lagi kamu yang hanya mengandalkan idialisme kamu, sudahlah jangan bermimpi terlalu tinggi, kamu tidak pantas untuknya. Hati dan pikirannya pun seperti berbisik tak karuan, yang membuatnya tidak lagi melirik wanita itu.

Diskusi pun berakhir. Ben beserta rombongan dan teman-temannya siap untuk pulang, namun dalam perjalan Ben masih saja memikirkan perempuan itu, entah apa yang membuatnya selalu memikirkannya, tidak seperti biasa, dia hanya terdiam sembari senyum sendiri, yang kebetulan dia duduk dibangku depan bersama Reza yang lagi menyetir mobilnya.

Tak lama kemudian, teman-temannya yang yang melihat tingkah Ben yang tak biasa hanya bisa saling lirik dibangku belakang, karena tidak biasa Ben bertingkah seperti itu. Namun kejailan dari teman-temannya yang mengagetkannya membuat Ben teriak kekagetan sambil mengucapkan “siapa perempuan itu” yang tidak sadar dia ucapkan karena kejailan dari teman-temannya. Yang membuatnya cukup malu dan seisi mobil itu pun tertawa terbahak-bahak mendengar kata yang terlontar dari mulut Ben.

Hahaha, bro aktivis rupanya lagi jatuh cinta nih kata Leno dengan bahasa khas Medanya yang semakin membuatnya malu dan terus-terusan dibuli dalam perjalanan pulang.

Ben, kau ini jatuh cinta sama siapa rupanya, ceritalah sama awak, kalau soal wanita, awaklah jagonya, Leno mencoba menggoda.

Wah, si tulang rupanya mau jadi guru cinta nih kata Ary yang menirukan logat medannya. Tapi awak tak percaya kalau si tulang kita ini bisa jadi guru cinta, soalnya sampai sekarang dia pun masih jomblo, hahaha, tertawa pun tak terelakkan.

Leno yang ngerasa tersindir terus-terusan membela diri dengan berbagai bermacam alasan, kau belum tau saja kalau awak di kampung itu jadi perimadona kaum wanita, hahaha
malam itu pun menjadi ramai dengan obrolan yang tak jelas itu.

HARI-HARI BERSEJARAH DALAM HIDUP

      Pagi itu, Ben dan beberapa rekannya lagi menikmati kopi ditempat biasa mereka berkumpul, tak lama kemudian, terdengar hanpone berdering ditengah keseunyian yang lagi membelengguu mereka saat itu, karena ada sesuatu hal yang sudah terjadi sore itu, sesuatu hal yang tak akan pernah terlupakan oleh beberapa rekan-rekan Ben dengan begitu saja. Kebijakan rektor kampus yang mereka lawan ternyata membuat beberapa aktivis ini akan di DO dari kampus dimana mereka memahat mimpi-mimpinya.


Hen gimana perasaan kamu kalau memang betul isu yang kita dengar ini memang betul, dan apa tindakan kita selanjutnya.


santai Len, kebenaran pasti akan menang, dan tidak selamanya kekuatan dan pengaruh itu selalu dimenangkan.


Tapi kalau memang itu betul, kita tidak bisa berbuat apa-apa bung, apa kita akan pasrah begitu saja, dengan sesuatu hal yang salah, Anton mencoba mempertegas.


Hendra pun bertanya pada Ben yang sendari tadi hanya terdiam, Ben bagaimana menurutmu dengan masalah yang kita hadapi ini, biasanya kamu yang paling banyak ide dari pada kami...!!


Ben yang dari tadi hanya diam dan menikmati kopinya akhirnya berkomentar...


Begini bung, kita jangan hanya belajar dari yang benar, namun kita juga harus belajar dari kemenangan, karna tidak semua kebenaran itu dimenangkan.


Menurutku, kita mungkin akan dikeluarka dari kampus ini, namun nama kita akan tetap terkurung dalam pikiran-pikiran teman-teman yang lain. Dan akan menghantui para pembuat ketidak adilan ini. Apa pun yang akan terjadi, kita harus siap menerima resiko dari apa yang pernah kita perbuat, kita jangan jadi pecundang yang memohon belas kasihan mereka supaya kita tidak dikeluarkan walau ini akan berdampak pada keluarga kita, akan tetapi, kalau kita memohon kepada mereka supaya kita gak jadi di keluarkan, maka sama artinya kita mendukung kebijakan mereka dan kita selamanya akan dicap sebagai pecundang.


Hen, besok kamu kumpulkan beberapa kawan-kawan di kampus, sebarkan isu kalau kita akan dikeluarkan dari kampus.


Len, tugas kamu menulis selembaran dan sebarkan ke beberapa rekan-rekan organisasi.


Anton, tugas kamu konsulidasi kepada beberapa media cetak supaya nanti mereka meliput kita dihari H. Biar semua orang tahu kalau ada diktator dikamus kita ini.


Kita harus siap dengan segala resiko yang akan kita lakukan ini, tapi kalau kalian masih merasa takut akan akibat yang akan kita terima, mendingan kalian mundur dari sekarang, soalnya ini akan menyangkut masa depan kita semua dan penegakan keadilan dari penguasa yang haus akan kehormatan.


Begitulah Ben menyampaikan orasinya, Hendra, Leno dan Anton pun sepakat seperti apa yang dikatakan Ben.


Apa pun resikonya aku siap Ben kata Hendra, gimana Len...??


Hahahaha, dengar kawan, masa depan itu Tuhan yang menentukan, bukan kampus, jadi apa pun yang akan terjadi sama kita, sebelum lahir aku sudah siap melakukan ini, semangat Leno pun membakar semua pikiran-pikran beberapa aktivis itu.


Betul kata Leno, Tuhanlah penentu masa depan, kalau aku dikeluarkan dari kampus ini, aku akan kembali ke kampung halamanku dan menggarap sawah dan ladang bapakku, siapa tahu nanti aku jadi pengusaha kaya, dan kalau aku sudah punya modal, aku bisa saja mencalonkan diri sebagai DPR RI nanti, dan disanalah kebijakan akan diadilkan, hahahaha, semua pun tertawa mendengar penjelasan Anton.


Azan subuh menyambut pagi dikota metropolitan, Ben pun masih terjaga, sementara rekan-rekannya yang lain entah sudah sampai mana mimpi mereka, dalam pikirannya, Ben yang sendari tadi merenung didepan teras sambil beberapa kali menyeduh kopinya terus berpikir, apakah benar langkah yang akan aku ambil ini. Entahlah, hanya engkau yang tahu Tuhan dengan perjalanan kami ini, semoga saja Engaku ikut campur tangan dalam masalah ini.


Pikirannya kembali melayang ke Desanya, membanyangkan apa yang akan dikataka keluarganya padanya, Tuhan, kali ini jangan pernah kau jauh dariku, Ben segera bergegas menuju kamar mandi dan mengambil air mudhu untuk melaksanakan sholat subuh, disanalah dia mencurahkan semua isi hatinya kepada Tuhan dengan khusuk dia mengeluarkan air mata, air mata kekhawatiran akan nisipnya dan teman-temannya.

KEBEBASAN BUDAYA DAN BERPIKIR

      Wilayah strategis berikutnya yang menjadi sasaran liberalisme adalah budaya dan pola pikir. Mereka telah berhasil menguasai dan mengendalikan wilayah politik. Mereka juga sudah menjadi raja di wilayah ekonomi. Kini mereka juga ingin menjadi penguasa di wilayah budaya.
Maka didirikanlah media-media massa. Koran, majalah, radio, televisi, handphone, dan tidak lupa yang paling berpengaruh ini yaitu internet. Efeknya sunguh luar biasa. Mereka berhasil menciptaka budaya baru dalam kehidupan, yang akarnya menghujam sangat kuat. Sehingga kita menjadi merasa bodoh dan ketinggalan zaman ketika tidak terlibat di dalamnya.

BERSAMBUNG....
Semoga bermanfaat.......